Senin, 08 Juni 2015

Poem-poem Mbak Meng



Negeri ini begitu kaya
Warna kulit pun beraneka macamnya
Bekerja keras untuk negeri agar berjaya
Menyongsong pelangi penuh warna di belahan Indonesia

Di mata dunia, budaya ini sangat luhur saudara
Beragam warisan seni lelulur bangsa
Menyangga kesantunan moral anak-anak nusa
Menjadi tiang manusia mulia
Dalam hidup berbhineka

Saudara darah kita darah pejuang
Selalu gigih untuk mengusir penjajah bangsa
Bersatu padu tegakkan sang bendera



darah kita darah pejuang saudara
yang melawan gigih mengusir penjajah bangsa
bergotong royong bersatu padu tegakkan kibar bendera
atas beragam suku agama ras dan perbedaan lainnya
demi harga diri kedaulatan bangsa berjaya
dalam satu rumah merdeka
lalu mengapa kata ‘sejahtera’ masih mewah terdengar di telinga?
kala kita terbahak tertawa di rumah mewah disana
lupa akan derita saudara di gubuk beratap langit senja
mengapa kata ‘damai’ bersaudara masih sakral tuk dilafalkan ucap rasa?
saat kita bergulat ambisi kuasa meraih nafsu syahwat yang terpelihara
singkirkan lawan dan kawan saudara dengan segala macam cara
dan mengapa kata ‘merdeka’ sudah asing terasa adanya?
atas derita intimidasi para saudara yang dipermainkan hak hak asasinya
yang dirampas ruang kebebasan merdeka di negeri bebas atas warisan yang sama
kita bersaudara dalam beda telah lama
membangun negeri sekian masa bersendi darah bhinneka
atas darah darah revolusi generasi pendahulu ada
jangan dan janganlah itu dilupa
untuk tujuan mulia
sejahtera damai merdeka
kita bisa
kita berkesempatan saudara
jelang pilihan keramat penentuan laju bangsa
katakan atas satu sepakat kata demokrasi yang berwibawa
meski beragam warna partai berhembus beragam rasa
tetap kibarkan panji dalam satu bendera
untuk putih tujuan suci nan mulia
pada merah asas pejuang tuk berjaya
atas kepentingan demi rumah tinggal yang sama
dalam gubuk demokrasi satu atap Indonesia

Karya Mia Rinekasswara

Kampusku yang Dulu



Kampus Kikir Parkir


Simbol kemajuan sebuah lembaga pendidikan memang tidak bisa dilihat dari sesuatu yang kasat mata saja. Seperti gedung mewah, fasilitas serba ada, ataupun mahasiswa yang naik mobil mewah. Namun, semua itu bukan berarti fasilitas kampus harus dihilangkan semua. Dalam dunia pendidikan pastinya ada unsur-unsur yang wajib dipenuhi, terutama dalam hal manajerial. yakni, sarana dan prasarana.
Manajemen sarana prasarana (sarpras) mempunyai beberapa prinsip yaitu: perencanaan, pengadaan, pengawasan, penghapusan, serta efisien. Semua itu adalah penunjang kelancaran proses belajar mengajar.
Dalam lingkungan Institute Agama Islam Negeri Walisongo Semarang, melihat beberapa prinsip manajemen sarpras sebagai penunjang kelancaran kegiatan belajar mengajar (KBM), bisa dikategorikan IAIN Walisongo termasuk salah satu lembaga pendidikan yang belum mampu memberikan fasilitas yang cukup memadai kepada seluruh sifitas akademika. Jika dilihat dari prinsip pencapaian tujuan manajemen sarana dan prasarana, maka kampus ini jauh dari klasifikasi kampus yang makmur. Hal ini dapat dibuktikan dengan ketiadaan parkiran mobil di berbagai gedung. Dengan adanya kekurangan tersebut tidak mengherankan kampus ini masih jauh dari konversi UIN yang akhir-akhir ini digamang-gamang oleh seluruh masyarakat IAIN Walisongo.
Penyelenggaraan prinsip efisien manajemen sarpras di IAIN Walisongo tergolong payah, sebab dalam pembangunan parkiran motor untuk mahasiswa saja letaknya tidak strategis. Hal inilah yang menyebabkan adanya pameran motor di sepanjang jalan gedung demi gedung. Simbol yang kasat mata inilah yang kemudian memberikan kesan tidak ada ketertiban dan kedisiplinan di kalangan mahasiswa IAIN Walisongo. Sehingga usaha untuk mangkir dari image buruk pun tidak bisa dilakukan. Mungkin karena inilah masyarakat memandang remeh kualitas bibit-bibit yang tumbuh dari IAIN Walisongo.
Selain itu, ketiadaan parkiran mobil sebenarnya memunculkan keheranan dari berbagai pihak, khususnya mahasiswa. Berbagai praduga sering bermunculan seiring dengan adanya pembangunan jalan yang menghubungkan antar kampus. Bahkan pandangan negatif juga menjangkit penghuni kampus. Pasalnya, ketiadaan parkiran mobil memberi simbol adanya rasa takut dari pejabat kampus tersaingi oleh mahasiswa, seolah tidak mengharapkan mahasiswa mempunyai mobil. Alasan prinsip efesiensi dalam manajemen pendidikan mungkin saja dilakukan oleh pihak kampus, mengingat sebagian besar mahasiswa kampus hijau ini adalah anak pedesaan. Hal ini memang dibenarkan oleh alam, sampai detik ini mahasiswa kampus yang memiliki 3 lokasi gedung tidak ada yang membawa mobil sewaktu kuliyah. Entah takut parkir sembarang tempat, entah itu tidak punya, atau alasan lain yang jelas sampai sekarang mahasiswa tidak ada yang membawa mobil ketika ke kampus.
Jika melihat status kampus yang masih di bawah naungan negara, maka prinsip inventaris itu harus dilakukan. Seharusnya anggaran pembangunan fasilitas itu sudah ada. Lantas kemanakah anggaran tersebut? Padahal untuk pembangunan jalan dan gedung saja bisa, kenapa untuk membuat parkiran saja tidak dilakukan? Di sinilah prinsip dan fungsi manajemen harus benar-benar diterapkan untuk mendapatkan hasil dan pencapaian tujuan pendidikan yang diharapkan oleh bangsa. Selain itu, dalam menjalankan proses manajerial juga dibutuhkan orang yang memang benar-benar ahli di bidangnya. Ketegasan, tanggung jawab, serta loyalitas pemegang kuasa harus benar-benar teruji. Wa Allahu al-a’lam bi al-shawab

Ultra Petita



Ayahku Diktator Hebat!
Kekeluargaan yang tampak membahagiakan di saat resepsi pernikahan para tanteku itulah yang menyebabkan aku berkeinginan untuk mondok lagi selepas dari pesantren SMAku. Ya, kekeluargaan yang bukan dari garis nasab itulah yang mengalahkan gengsiku menerima tawaran ibuku untuk melanjutkan sekolah diluar semarang.
            Pilihan seorang ibu memang tidak salah. Syukurku pada Tuhan tiada tara, karena dua misi sekaligus aku dapatkan dalam satu waktu, yaitu melanjutkan sekolah tinggi dengan gratis dan mendapatkan ultra petita yaitu, “ayah” baru.
Ayah baruku terlalu sempurnya bagiku, mungkin ini ultra petita dari Tuhan, demi mengembalikan semangatku yang hampir terputus dari kasih sayang Tuhan. Dia selalu tampil rapi, siap, sigap dengan segala kondisi, dan semangat meskipun kesederhanaan selalu melekat pada dirinya. Bukan karena tidak punya harta, namun teladanlah yang membuat laki-laki berusia 34 ini selalu tampil sederhana. Kesederhaan itu bukan berarti menunjukkan kesederhanaan ilmu abah HOHE, melainkan iplementasi dari capaian tertinggi ibadahnya pada sang penguasa alam.
Ayahku seorang penghafal al-qur’an. Segalanya didasarkan pada al-qur’an, bahkan doktor ilmu politik ini berambisi melahirkan kader-kader yang berkarakter qur’ani. Tidak tanggung-tanggung, kedua anaknya hokma dan hekma dijadikan kelinci percobaan atas ambisi tersebut.
Ayahku seorang yang cerdas spiritual, intelektual, maupun finansial. Seandainya kecerdasan ayahku dipakai dalam segala kondisi, aku yakin sosok Muhammad mampu tergambar jelas dalam diri laki-laki kelahiran rembang 1 april 1979 ini. Meskipun demikian, ayahku adalah sosok manusia yang paling disiplin sepanjang yang aku temukan. Saking disiplinnya, laki-laki berambut hitam lebat itu rela kelaparan demi ucapan yang pernah dilontarkannya di depan anak-anaknya.
Ayahku selain berdisiplin tinggi juga sangat tegas, layaknya Umar bin Al-Khattab sahabat Nabi. Ketegasan laki-laki yang sudah hafal al-Qur’an semenjak kelas 2 SMA tidak pernah menampakkan kemarahannya terhadap anak-anaknya. Kalaupun terpaksa marah, cara yang dilakukan laki-laki pecinta sambal ini meniru cara Allah mengadzab hamba-hambanya. Hukuman inilah yang sering kali membuat para anaknya segan pada suami dokter spesialis anak RSUP dr. Karyadi Semarang. Meskipun Al-Ghazali mengajarkan bahwa, seorang pendidik (guru, orang tua) harus menggunakan cara mendidik yang sesuai dengan latar belakang anak didiknya, komisaris salah satu BUMN ini memilih untuk menggunakan cara yang sama dalam mendidik anak, termasuk dalam menghardik anak didiknya.
Sering kali aku merasa kasihan pada ayah atas apa yang menjadi angan serta harapan untuk masa depan kami, anak-anaknya (itupun kalau masih pantas menjadi anak). Entah ayah ideologisku tahu apa tidak konstalasi yang terjadi pada anak-anaknya, aku tidak tahu. yang aku tahu hanyalah perubahan perlakuan saja. Hal inilah yang membuat ketidak totalan kerja anak-anaknya. Apalagi dengan label yang melekat pada anak-anaknya, seolah menutup mata ayahku untuk berbalik arah melirik kami yang “beda”. Bukan karena iri maupun dengki, namun keinginan untuk “disentuh” seorang ayah adalah perasaan manusiawi seorang anak. Sebab, sentuhan seorang ayah dipercaya mampu menjadi stimulus semangat belajar dan berjuang bagi anak-anaknya. Hal ini telah dibenarkan oleh psikologi pendidikan pada bab teori belajar, bahwa adanya reward (apapun bentuknya) mampu memompa stimulus semangat belajar anak. Hal ini disebabkan karena “sentuhan” ayah merupakan reward bagi setiap disciples (panggilan anak ideologisnya). Aku hanya mampu menjawab dengan ke-imanan bahwa tidak mungkin ayah menciptakan akibat kalau tidak adanya sebabnya. Yah, aku hanya percaya itu.
Ayahku adalah orang langka yang pernah aku ketemui selama 21 tahun ini, hanya dia yang rela berkorban secara total untuk orang lain, yang orang-orang itu belum pasti memberikan imbalan kepadanya. Keikhlasan laki-laki yang menghabiskan waktunya untuk perkaderan inilah yang terkadang oleh bayak orang dijadikan kiblat dalam mengurus umat. Dia tidak pernah mengeluh ataupun mengharap bantuan orang lain dalam berjuang. Semuanya diserahkan pada Allah, karena memang dia percaya betul pada kekuatan fikiran dan berkah shadaqah. Sehingga, tidak jarang laki-laki berkulit kuning bersih ini mengkalkulasi sedekahnya dengan kalkulasi matematika dinamis yang akan ditangguhkan pada Allah.
Ayahku seorang pejuang yang tidak kenal lelah dan letih. Perjalanan yang berasuransikan nyawa dia tempuh setiap akhir pekan, seolah menjadi pekerjaan wajib dalam hidupnya. Meskipun baru melahirkan lima generasi (yang terkalkulasi), rutinitas ayahku memakan banyak waktu, tenaga, harta, kasih sayang, bahkan pengorbanan ini terlihat menjadi karakter seumur hidupnya. Didukung dengan lingkungan yang memacu ambisi laki-laki yang telah mendedikasikan diri di partai politik sejak tahun 2004 untuk membangun negara Indonesia melalui pengkaderan para calon pemimpin. Inilah jalan perjuangan yang dipilih oleh penulis gagasan “Politisi Muda Tak Berdaya”. Beliau beranggapan bahwa politiklah yang mengatur kehidupan di negeri ini. Apapun hambatan dan rintangannya, dia lewati dengan penuh kesabaran dan kepasrahan.  Segalanya dari yang Maha Pencipta. Semoga Allah memberikan panjang usia yang berkah, pak diktator. Agar impianmu mampu terwujud, menjadikan Indonesia “Hebat”. Amin.

  

Rabu, 20 Mei 2015

Mempertahankan Kampus

Kampus dan Ketahanan Negara
Oleh: Nur Faizah Rahmawati
Mahasiswi Manajemen Pendidikan Islam UIN Walisongo Semarang dan Staff Pengajar di PAUD Mellatena Semarang
Kampus merupakan urat nadi kemajuan suatu negara, mengingat kampus merupakan pusat studi dan riset. Hal ini senada dengan perspektif Al-Ghazali, Pestalozi, Plato, dan J.J Rousseau sebagai reformer masyarakat, bahwa perbaikan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) hanya bisa dilakukan melalui pendidikan. Dengan demikian, para akademisi bertanggung jawab atas realisasi itu.
Sehubungan dengan hal itu, perguruan tinggi sudah seharusnya menjalankan peran dan fungsinya dengan baik, yaitu sebagai agent of social change. Oleh karena itu, tentu tidak akan sulit bagi kaum akademisi mewujudkan tugasnya untuk menjawab tantangan dunia. Terlebih tantangan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) dan bonus demografi.
Selain sebagai pusat studi dan riset, perguruan tinggi (baca: kampus) juga menjadi tempat saling bertukarnya budaya dari berbagai wilayah yang universal. Dengan berproses di kampus, maka perkumpulan budaya-budaya tersebut otomatis akan memperkuat rasa persatuan dan kesatuan antar mahasiswa dan saling toleransi (Bhinneka Tunggal Eka). Bermodal persatuan dan kesatuan tersebut, mampu dijadikan kendaraan untuk mempertahankan republik ini.
Dalam konteks ini Panglima TNI, Jenderal Moeldoko mengatakan bahwa kampus harus bisa memunculkan agen-agen perubahan melalui perubahan lingkungan yang dipelopori oleh mahasiswa dan para sarjana (SM, 11/02/2015). Sementara Moeldoko mengatakan bahwa pendidikan bela negara harus diberikan di perguruan tinggi. Argumentasi ini dimaksudkan untuk mempersatukan seluruh mahasiswa dari berbagai wilayah yang berbackground berbeda-beda melalui proses akulturasi budaya yang terjadi di kampus.
Hal ini dimaksudkan untuk menjembatani adanya berbagai budaya yang masuk di kampus. Budaya-budaya tersebut diharapkan tetap berbingkai satu dalam bingkain tujuan Negara, yaitu menjunjung tinggi Nasionalisme. Sikap Nasionalisme tersebut tentunya bukan hanya berbentuk ritual atau symbol saja namun, bentuk Nasionalisme yang diharapkan adalah menjadikan kampus sebagai pusat pembelajaran, kampus menjadi tata nilai, dan kampus sebagai pusat kebudayaan.
Jika akulturasi budaya tersebut berada di bawah panji bela Negara, maka ketahanan Negara akan kokoh. Ketahanan Negara tersebut dinilai penting mengingat tantangan Negara yang semakin di depan mata, MEA misalnya. Meskipun ekonomi bukan satu-satunya ketahanan Negara, setidaknya kedinamisan kondisi Negara ini sangat erat kaitannya dengan perekonomian. Pada tahun 1949, para tokoh baik individu maupun kelompok gundah gulana atas keadaan sistem perekonomian di Indonesia. Akhirnya Sumitro Djojohadikusumo dalam pidatonya di Amerika menyampaikan perihal sistem yang akan digunakan.
Inilah mengapa Jenderal Moeldoko juga beranggapan bahwa ketahanan nasional yang baik akan menjamin pertumbuhan ekonomi yang baik pula. Hal ini disebabkan karena kepercayaan para investor untuk berinvestasi kepada Negara yang aman. Bahkan Negara-negara peserta MEA akan berkompetisi memperkuat ketahanan Negaranya di Desember mendatang.
Berlangsungnya MEA tersebut perlu mendapat antisipasi dari rakyat Indonesia, khususnya kaum terpelajar. Jangan sampai pasca MEA diberlakukan, SDM nasional terkalahkan oleh SDM internasional. Tentunya harus ada langkah preventif dari pihak kampus yang notabene sebagai produsen SDM. Dalam hal ini para steakholder kampus harus bersinergi dalam mewujudkan peran dan fungsi kampus sebagai pencetak agent of change yang benar-benar “laku” jika dipasarkan .Wa allahu A’lamu bi al-Shawab.