Kamis, 25 April 2013

coretan di RimaNews

Mengembalikan Ruh Pemimpin

Oleh : Nur Faizah Rahmawati*
Pendidikan moral merupakan pendidikaan yang sangat urgent untuk bekal  menjawab tantangan zaman yang semakin kronis. Dekadensi moral memang sudah menjamur di negara yang konon mayoritas penduduknya beragama Islam. Padahal, agama islam adalah agama yang sangat erat kaitannya dengan yang namanya moral bahkan, dalam kajian Islam ada spesifikasi bab yang membahas tentang moral. Namun, semua itu belum cukup sebagai peringatan dan pengajaran bangsa indonesia. Untuk menyikapi permasalahan tersebut, Negara khususnya menteri pendidikan berkewajiban merealisasikan adanya pendidikan karakter bangsa masuk sebagai mata pelajaran di sekolah.
Bayangkan saja jika pendidikan moral mampu dipahami betul oleh para generasi negri ini, maka nama baik negri ini mampu dipertahankan, setidaknya melalui moral anak bangsa. Telah kita ketahui bersama bahwa moral merupakan tolak ukur  kekuatan suatu bangsa terlebih dari para generasi muda. Generasi muda memang pemegang kendali nasib bangsa, karena pemudalah yang melatar belakangi tumbangnya kejahatan otoriter yang  sangat menyesakkan gerak dalam bertindak. Namun realita sekarang berbanding terbalik dengan komitmen para panji negara yang dulu berkobar asa menumpas tindak kejahatan salah satunya adalah tindak otoriter dari sang penguasa.
 Ironisnya sekarang ini kejahatan tersebut pelakunya adalah para pemuda yang seharusnya membawa negara ini kepada kebaikan baik secara ekonomi, sosial, budaya, serta pendidikan. Banyak kasus yang muncul karena ulah para pemuda, contoh kecilnya adalah musim tawuran pelajar. Tawuran merupakan salah satu bentuk kejahatan di dunia pendidikan. Mereka berasumsi bahwa sebagai  siswa terutama mahasiswa menengah atas (SMA)merasa bangsda atas hal tersebut. Inilah benih yang akan menghancurkan negara. Padahal, merekalah (kaum terpelajar) yang diharapkan oleh bangsa untuk mengubah nasib negri ini.
Pendidikan hanya sebagai batu loncatan mendapatkan pengakuan status. Bagaimana mungkin bisa mengaplikasikan negara yang tentram sejahtera, sedangkan tonggak negaranya bermoral amburadul? Ibarat bangunan berlantai dua namun, hanya berpondasi bambu. Hal inilah yang menyebabkan nasib bangsa berada di awang-awang (tidak jelas). Kalau seperti itu siapa lagi yang akan menggantikan pak Bye, dan membawa negara indonesia menjemput nasib baik.
Permasalahan moral
Setiap ketidak berhasilan pasti ada problem yang menghapiri, tak terkecuali permasalahan moral. Negara ini bisa dikategorikan tidak berhasil dalam hal akhlak. Sebab, banyak sekali timbul permasalah jika berkata tentang moralisasi. Padahal kerusakan moral akan berdampak pada eksistensi kekuatan negara dalam hal SDM, terutama generasi penerus bangsa. Salah satu faktor penyebab kerusakan pada moralisasi diantaranya adalah pola kasih sayang orang tua. Dalam hal ini orang tua tidak turun langsung mengasuh anaknya, akan tetapi diwakilkan orang lain. Pola yang seperti ini masih tergolong sedikit wajar. Lebih iroonis, jika pola pengasuhan anak  yang seperti bola pimpong sembunyi tangan.
Dalam hal ini orang tua seolah tidak mempedulikan perkembangan anak dikarenakan alasan karir. Orang tua seperti ini lebih suka memakai jasa pengasuh sementara. Mereka akan saling menyalahkan jika ada ketidak beresan melanda moral anak mereka, akibatnya cek-cok tak bisa dikendalikan. Kasus seperti ini sangat sering terjadi, anehnya juga tidak pernah dijadikan “kaca” oleh masyarakat yang lain. Yang kedua adalah lingkungan dimana lingkungan adalah paling besar pengaruhnya. Lingkunganlah yang menentukan jadi apa kelak. Ada pepatah mengatakan “jika kalian bersama dengan pembuat besi maka kalian akan terluka, atau paling tidak terkena debunya. Jika kalian bersama dengan orang yang menjual parfume maka kalian akan merasakan wanginya, walaupun hanya sedikit” pernyataan ini memberikan pilihan bahwa penentu karakter adalah dari dalam diri sendiri. Yang ketiga adalah agama. Di negara ini konon mayoritas beragama islam, yang mana telah mempunyai aturan main sendiri mengenai moral beserta pelanggarannya. Jika pemeluk islam merasa jiwa keislaman, tidak hanya status di kartu penduduk, maka problem moral tidak akan ada kendala. Jika kesemuanya itu dibenahi, maka problem moral bisa teratasi.
Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter baru muncul pada akhir abad ke 18. Pendekatan ini melalui pendekatan spiritual dan idealis yang kemudian dikenal dengan pendidikan normatif. Sebenarnya pendidikan karakter bukanlah sesuatu yang baru lagi. Karena sebelum Muhammad Nuh menggembar-gemborkan pendidikan karakter berdiri sebagai mata pelajaran baru, para guru besar seperti R.A Kartini, Ki Hajar Dewantoro dan lainnya telah lebih dulu start menerapkaan semangat pendidikan karakter bangsa sesuai keadaan bangsa saat itu.
Jika baru sekarang pendidikan karakter di terapkan yangmana sudah terlanjur rusak, maka pemerintah dinyatakan baru sadar dari tidur panjangnya. Andaikan saja pemerintah tidak terjaga dari tidur, maka akan selalu mencoba meneruskan apa yang telah dilakukan oleh guru-guru besar. Bukannya baru sekarang memprimadonakan pendidikan karakter bangsa. Memang terkadang sesuatu yang baru pada dasarnya bukan baru lagi melainkan sudah basi. Namun jika sesuatu itu relevan dengan permasalahan yang ada, bertindak adalah yang terbaik daripada hanya membisu.
Mungkin baru juga baru menyadari kalau karakter pemimpin negara telah musnah tak bersisa. Dengan latar belakang inilah pendidikan karakter bangsa di nyalaka lagi, sehingga dengan adanya pendidikan karakter bangsa diharapkan rasa nasionalisme para generasi penerus akan lebih kuat dan mempu membawa negara ke arah kegemilangan. Selain itu juga mampu melahirkan para pemuda yang mempunyai jiwa kepemimpinan yang idealis, dan mampu mengatasi masalah tanpa masalah. Wa allahu al a’lam
_____________________________________________________________
*Mahasiswa Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar