Berbenah Sistem, Miskinkan Pendidik
Oleh: Nur Faizah Rahmawati
Mahasiswa Kependidikan Islam Fakultas
Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang
Realitas pendidikan di
Indonesia seakan sangat jauh dari harapan bangsa, bahkan terkesan memupuskan
harapan rakyat Indonesia. Berbicara tentang pendidikan memang tidak pernah
luput dari masalah yang kontroversial. Semua erat berkaitan dengan masalah
uang, uang, dan uang.
Jika secara umum komponen
pendidikan adalah pendidik, peserta didik, dan lingkungan maka, sudah dapat
dipastikan semua masalah yang ada di lingkungan pendidikan adalah bersumber
dari tiga komponen tersebut.
Keberhasilan pendidikan
adalah kemampuan mengaplikasikan atas apa yang sudah diajarkan baik itu peserta
didik ataupun pendidik. Jika antara peserta didik dan pendidik sudah mampu
melampaui indikator kebrhasilan pendidikan maka, sistem yang telah terpilih
tidak perlu di otak atik. Namun, sadar atau tidak sadar selama ini setiap ada
pergantian menteri pendidikan sistem selalu berganti, entah hanya dengan dalih
tidak sesuai dengan situasi serta kondisi pendidikan di Indonesia, atau masalah
pendukung pendidikan lainnya yaitu masalah dana, dan yang lainnya.
Berbicara tentang pergantian
sistem pendidikan di Indonesia yang sudah mengalami pergantian nama diantaranya
adalah KTSP(Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan), KBK(Kurikulum Berbasis
Kompetensi), Kurikulum 1999, dan masih banyak istilah lagi di dunia pendidikan
ini sungguh sangat membingungkan bagi peserta didik bahkan pendidiknyapun tidak
banyak yang mengetahui akan hal itu.
Di era sekarang ini yang segala
sesuatunya harus dengan uang, pemerintah cukup tanggap akan realita yang ada di
kalangan pendidik. Maka, inisiatif memberikan berbagai tunjangan kepada para
pendidik inilah yang dipilih pemerintah sebagai solusi. Akan tetapi, reaksi
pemerintah ini tidak memberikan efek yang signifikan untuk kemajuan pendidikan.
Justru memberikan peluang bagi para pelaku komersial di dunia pendidikan untuk melancarkan
aksinya. Adanya tunjangan pendidikan untuk para pendidik ini malah semakin
menghabiskan uang negara saja. Sebab, meskipun sudah mendapat gaji dan
tunjangan yang layak para pendidik tetap saja merasa haus akan materi karena
memang sifat manusia yang materialistis dan ditambah lagi dengan tuntutan zaman
yang serba uang, uang, dan uang.
Inilah yang menyebabkan
dunia pendidikan di Indonesia yang tidak kunjung mendapatkan pencerahan. Jika
Paulo Freire berjihat di dunia pendidikan dengan keadaannya yang miskin, justru memperoleh hasil yang memuaskan karena
memang mampu mengangkat derajat pendidikan di Brazil. Lain halnya dengan
pendidik di Indonesia, kayakan dulu pendidiknya baru peserta didik mendapatkan
apa yang semestinya peserta didik dapatkan.
Tidak heran jika para
orang tua murid harus mengeluarkan banyak uang demi memenuhi hak pendidikan
anaknya, mengingat para pendidiknya haus akan imbalan. Konstalasi pendidikan
yang seperti ini jika dibiarkan maka, akibat riilnya adalah hasilnya yang
berimplikasi buruk pada kebrlangsungan negara, yakni negara ini akan semakin
banyak di huni oleh pemuda pemuda yang berotakkan saku, apabila ada indikasi
“kanker” (kantong Kering) maka berbagai strategi akan siap dilakukan. Sudah
dapat di pastikan bahwasannya negara tidak memperkokoh pondasinya namun, malah
menggerogoti pondasi tersebut karena ada Istilah pemuda adalah masa depan
bangsa. Jika memang benar pemuda adalah masa depan bangsa maka, menjustifikasi
nasib bangsa sangatlah mudah.
Keberhasilan sistem pendidikan memang
tidak hanya bertumpu pada satu komponen saja, yaitu pendidik. Namun, sinergitas
perlu dibangun juga untuk mencapai sebuah tujuan yang mulia, apalagi ini
masalah yang urgen sekali. Sebab, pendidikan merupakan tolok ukur kemajuan
suatu negara. Jika pendidikan dinyatakan
berhasil maka, kualitas SDM (sumber daya manusia)nya tidak perlu diragukan
lagi, karena memang nasib suatu negara yang menentukan adalah manusianya.
Jika pemerintah menarik kembali
tunjangan tunjangan untuk pendidik itu adalah tindakan yang kurang sesuai maka,
pemerintah harus mampu membuat program baru memperbarui kualitas pendidik dalam
koridor amal yang kongkrit, yaitu memotong minimal 1% saja dari gaji pendidik
untuk menunjang anak bangsa yang tidak mampu merasakan pendidikan. Sehingga ada
bukti kongkrit dari pengaplikasikan slogan jawa GURU, digugu lan ditiru. Digugu itu didengarkan setiap apa yang
disampaikan oleh guru, dan ditiru itu adalah apa yang disampaikan, dilakukan
oleh guru memang pantas dan patut untuk ditiru. Sehingga tidah ada lagi istilah
menimbun harta untuk perut sendiri, yang ada adalah menimbun harta untuk anak
bangsa.
Jika memang cara itu kurang sesuai
maka, tunjangan yang diberikan oleh pemerintah ditarik kembali untuk menambah
alokasi dana bantuan untuk peserta didik.
Istilah pahlawan tanpa tanda jasa
sudah tidak pantas lagi dipersembahkan untuk guru jika, guru berorientasi
materialistis. Lantas untuk siapa jabatan pahlawan tanpa tanda jasa itu
dipersembahkan?ataukah pangkat pahlawan tanpa tanda jasa itu harus terkikis
oleh guru “model” sekarang?wa allahu al
a’lambi al shawab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar