Rabu, 24 April 2013

cOret_coREtku


Berbenah Sistem, Miskinkan Pendidik
Oleh: Nur Faizah Rahmawati
Mahasiswa Kependidikan Islam Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang

Realitas pendidikan di Indonesia seakan sangat jauh dari harapan bangsa, bahkan terkesan memupuskan harapan rakyat Indonesia. Berbicara tentang pendidikan memang tidak pernah luput dari masalah yang kontroversial. Semua erat berkaitan dengan masalah uang, uang, dan uang.
Jika secara umum komponen pendidikan adalah pendidik, peserta didik, dan lingkungan maka, sudah dapat dipastikan semua masalah yang ada di lingkungan pendidikan adalah bersumber dari tiga komponen tersebut.
Keberhasilan pendidikan adalah kemampuan mengaplikasikan atas apa yang sudah diajarkan baik itu peserta didik ataupun pendidik. Jika antara peserta didik dan pendidik sudah mampu melampaui indikator kebrhasilan pendidikan maka, sistem yang telah terpilih tidak perlu di otak atik. Namun, sadar atau tidak sadar selama ini setiap ada pergantian menteri pendidikan sistem selalu berganti, entah hanya dengan dalih tidak sesuai dengan situasi serta kondisi pendidikan di Indonesia, atau masalah pendukung pendidikan lainnya yaitu masalah dana, dan yang lainnya.
Berbicara tentang pergantian sistem pendidikan di Indonesia yang sudah mengalami pergantian nama diantaranya adalah KTSP(Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan), KBK(Kurikulum Berbasis Kompetensi), Kurikulum 1999, dan masih banyak istilah lagi di dunia pendidikan ini sungguh sangat membingungkan bagi peserta didik bahkan pendidiknyapun tidak banyak yang  mengetahui akan hal itu.
Di era sekarang ini yang segala sesuatunya harus dengan uang, pemerintah cukup tanggap akan realita yang ada di kalangan pendidik. Maka, inisiatif memberikan berbagai tunjangan kepada para pendidik inilah yang dipilih pemerintah sebagai solusi. Akan tetapi, reaksi pemerintah ini tidak memberikan efek yang signifikan untuk kemajuan pendidikan. Justru memberikan peluang bagi para pelaku komersial di dunia pendidikan untuk melancarkan aksinya. Adanya tunjangan pendidikan untuk para pendidik ini malah semakin menghabiskan uang negara saja. Sebab, meskipun sudah mendapat gaji dan tunjangan yang layak para pendidik tetap saja merasa haus akan materi karena memang sifat manusia yang materialistis dan ditambah lagi dengan tuntutan zaman yang serba uang, uang, dan uang.
Inilah yang menyebabkan dunia pendidikan di Indonesia yang tidak kunjung mendapatkan pencerahan. Jika Paulo Freire berjihat di dunia pendidikan dengan keadaannya yang miskin,  justru memperoleh hasil yang memuaskan karena memang mampu mengangkat derajat pendidikan di Brazil. Lain halnya dengan pendidik di Indonesia, kayakan dulu pendidiknya baru peserta didik mendapatkan apa yang semestinya peserta didik dapatkan.
Tidak heran jika para orang tua murid harus mengeluarkan banyak uang demi memenuhi hak pendidikan anaknya, mengingat para pendidiknya haus akan imbalan. Konstalasi pendidikan yang seperti ini jika dibiarkan maka, akibat riilnya adalah hasilnya yang berimplikasi buruk pada kebrlangsungan negara, yakni negara ini akan semakin banyak di huni oleh pemuda pemuda yang berotakkan saku, apabila ada indikasi “kanker” (kantong Kering) maka berbagai strategi akan siap dilakukan. Sudah dapat di pastikan bahwasannya negara tidak memperkokoh pondasinya namun, malah menggerogoti pondasi tersebut karena ada Istilah pemuda adalah masa depan bangsa. Jika memang benar pemuda adalah masa depan bangsa maka, menjustifikasi nasib bangsa sangatlah mudah.
Keberhasilan sistem pendidikan memang tidak hanya bertumpu pada satu komponen saja, yaitu pendidik. Namun, sinergitas perlu dibangun juga untuk mencapai sebuah tujuan yang mulia, apalagi ini masalah yang urgen sekali. Sebab, pendidikan merupakan tolok ukur kemajuan suatu negara. Jika pendidikan  dinyatakan berhasil maka, kualitas SDM (sumber daya manusia)nya tidak perlu diragukan lagi, karena memang nasib suatu negara yang menentukan adalah manusianya.
Jika pemerintah menarik kembali tunjangan tunjangan untuk pendidik itu adalah tindakan yang kurang sesuai maka, pemerintah harus mampu membuat program baru memperbarui kualitas pendidik dalam koridor amal yang kongkrit, yaitu memotong minimal 1% saja dari gaji pendidik untuk menunjang anak bangsa yang tidak mampu merasakan pendidikan. Sehingga ada bukti kongkrit dari pengaplikasikan slogan jawa GURU, digugu lan ditiru. Digugu itu didengarkan setiap apa yang disampaikan oleh guru, dan ditiru itu adalah apa yang disampaikan, dilakukan oleh guru memang pantas dan patut untuk ditiru. Sehingga tidah ada lagi istilah menimbun harta untuk perut sendiri, yang ada adalah menimbun harta untuk anak bangsa.
Jika memang cara itu kurang sesuai maka, tunjangan yang diberikan oleh pemerintah ditarik kembali untuk menambah alokasi dana bantuan untuk peserta didik.
Istilah pahlawan tanpa tanda jasa sudah tidak pantas lagi dipersembahkan untuk guru jika, guru berorientasi materialistis. Lantas untuk siapa jabatan pahlawan tanpa tanda jasa itu dipersembahkan?ataukah pangkat pahlawan tanpa tanda jasa itu harus terkikis oleh guru “model” sekarang?wa allahu al a’lambi al shawab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar