Kamis, 25 April 2013

coretan di RimaNews

Mengembalikan Ruh Pemimpin

Oleh : Nur Faizah Rahmawati*
Pendidikan moral merupakan pendidikaan yang sangat urgent untuk bekal  menjawab tantangan zaman yang semakin kronis. Dekadensi moral memang sudah menjamur di negara yang konon mayoritas penduduknya beragama Islam. Padahal, agama islam adalah agama yang sangat erat kaitannya dengan yang namanya moral bahkan, dalam kajian Islam ada spesifikasi bab yang membahas tentang moral. Namun, semua itu belum cukup sebagai peringatan dan pengajaran bangsa indonesia. Untuk menyikapi permasalahan tersebut, Negara khususnya menteri pendidikan berkewajiban merealisasikan adanya pendidikan karakter bangsa masuk sebagai mata pelajaran di sekolah.
Bayangkan saja jika pendidikan moral mampu dipahami betul oleh para generasi negri ini, maka nama baik negri ini mampu dipertahankan, setidaknya melalui moral anak bangsa. Telah kita ketahui bersama bahwa moral merupakan tolak ukur  kekuatan suatu bangsa terlebih dari para generasi muda. Generasi muda memang pemegang kendali nasib bangsa, karena pemudalah yang melatar belakangi tumbangnya kejahatan otoriter yang  sangat menyesakkan gerak dalam bertindak. Namun realita sekarang berbanding terbalik dengan komitmen para panji negara yang dulu berkobar asa menumpas tindak kejahatan salah satunya adalah tindak otoriter dari sang penguasa.
 Ironisnya sekarang ini kejahatan tersebut pelakunya adalah para pemuda yang seharusnya membawa negara ini kepada kebaikan baik secara ekonomi, sosial, budaya, serta pendidikan. Banyak kasus yang muncul karena ulah para pemuda, contoh kecilnya adalah musim tawuran pelajar. Tawuran merupakan salah satu bentuk kejahatan di dunia pendidikan. Mereka berasumsi bahwa sebagai  siswa terutama mahasiswa menengah atas (SMA)merasa bangsda atas hal tersebut. Inilah benih yang akan menghancurkan negara. Padahal, merekalah (kaum terpelajar) yang diharapkan oleh bangsa untuk mengubah nasib negri ini.
Pendidikan hanya sebagai batu loncatan mendapatkan pengakuan status. Bagaimana mungkin bisa mengaplikasikan negara yang tentram sejahtera, sedangkan tonggak negaranya bermoral amburadul? Ibarat bangunan berlantai dua namun, hanya berpondasi bambu. Hal inilah yang menyebabkan nasib bangsa berada di awang-awang (tidak jelas). Kalau seperti itu siapa lagi yang akan menggantikan pak Bye, dan membawa negara indonesia menjemput nasib baik.
Permasalahan moral
Setiap ketidak berhasilan pasti ada problem yang menghapiri, tak terkecuali permasalahan moral. Negara ini bisa dikategorikan tidak berhasil dalam hal akhlak. Sebab, banyak sekali timbul permasalah jika berkata tentang moralisasi. Padahal kerusakan moral akan berdampak pada eksistensi kekuatan negara dalam hal SDM, terutama generasi penerus bangsa. Salah satu faktor penyebab kerusakan pada moralisasi diantaranya adalah pola kasih sayang orang tua. Dalam hal ini orang tua tidak turun langsung mengasuh anaknya, akan tetapi diwakilkan orang lain. Pola yang seperti ini masih tergolong sedikit wajar. Lebih iroonis, jika pola pengasuhan anak  yang seperti bola pimpong sembunyi tangan.
Dalam hal ini orang tua seolah tidak mempedulikan perkembangan anak dikarenakan alasan karir. Orang tua seperti ini lebih suka memakai jasa pengasuh sementara. Mereka akan saling menyalahkan jika ada ketidak beresan melanda moral anak mereka, akibatnya cek-cok tak bisa dikendalikan. Kasus seperti ini sangat sering terjadi, anehnya juga tidak pernah dijadikan “kaca” oleh masyarakat yang lain. Yang kedua adalah lingkungan dimana lingkungan adalah paling besar pengaruhnya. Lingkunganlah yang menentukan jadi apa kelak. Ada pepatah mengatakan “jika kalian bersama dengan pembuat besi maka kalian akan terluka, atau paling tidak terkena debunya. Jika kalian bersama dengan orang yang menjual parfume maka kalian akan merasakan wanginya, walaupun hanya sedikit” pernyataan ini memberikan pilihan bahwa penentu karakter adalah dari dalam diri sendiri. Yang ketiga adalah agama. Di negara ini konon mayoritas beragama islam, yang mana telah mempunyai aturan main sendiri mengenai moral beserta pelanggarannya. Jika pemeluk islam merasa jiwa keislaman, tidak hanya status di kartu penduduk, maka problem moral tidak akan ada kendala. Jika kesemuanya itu dibenahi, maka problem moral bisa teratasi.
Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter baru muncul pada akhir abad ke 18. Pendekatan ini melalui pendekatan spiritual dan idealis yang kemudian dikenal dengan pendidikan normatif. Sebenarnya pendidikan karakter bukanlah sesuatu yang baru lagi. Karena sebelum Muhammad Nuh menggembar-gemborkan pendidikan karakter berdiri sebagai mata pelajaran baru, para guru besar seperti R.A Kartini, Ki Hajar Dewantoro dan lainnya telah lebih dulu start menerapkaan semangat pendidikan karakter bangsa sesuai keadaan bangsa saat itu.
Jika baru sekarang pendidikan karakter di terapkan yangmana sudah terlanjur rusak, maka pemerintah dinyatakan baru sadar dari tidur panjangnya. Andaikan saja pemerintah tidak terjaga dari tidur, maka akan selalu mencoba meneruskan apa yang telah dilakukan oleh guru-guru besar. Bukannya baru sekarang memprimadonakan pendidikan karakter bangsa. Memang terkadang sesuatu yang baru pada dasarnya bukan baru lagi melainkan sudah basi. Namun jika sesuatu itu relevan dengan permasalahan yang ada, bertindak adalah yang terbaik daripada hanya membisu.
Mungkin baru juga baru menyadari kalau karakter pemimpin negara telah musnah tak bersisa. Dengan latar belakang inilah pendidikan karakter bangsa di nyalaka lagi, sehingga dengan adanya pendidikan karakter bangsa diharapkan rasa nasionalisme para generasi penerus akan lebih kuat dan mempu membawa negara ke arah kegemilangan. Selain itu juga mampu melahirkan para pemuda yang mempunyai jiwa kepemimpinan yang idealis, dan mampu mengatasi masalah tanpa masalah. Wa allahu al a’lam
_____________________________________________________________
*Mahasiswa Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang

Rabu, 24 April 2013

cOret_coREtku


Berbenah Sistem, Miskinkan Pendidik
Oleh: Nur Faizah Rahmawati
Mahasiswa Kependidikan Islam Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang

Realitas pendidikan di Indonesia seakan sangat jauh dari harapan bangsa, bahkan terkesan memupuskan harapan rakyat Indonesia. Berbicara tentang pendidikan memang tidak pernah luput dari masalah yang kontroversial. Semua erat berkaitan dengan masalah uang, uang, dan uang.
Jika secara umum komponen pendidikan adalah pendidik, peserta didik, dan lingkungan maka, sudah dapat dipastikan semua masalah yang ada di lingkungan pendidikan adalah bersumber dari tiga komponen tersebut.
Keberhasilan pendidikan adalah kemampuan mengaplikasikan atas apa yang sudah diajarkan baik itu peserta didik ataupun pendidik. Jika antara peserta didik dan pendidik sudah mampu melampaui indikator kebrhasilan pendidikan maka, sistem yang telah terpilih tidak perlu di otak atik. Namun, sadar atau tidak sadar selama ini setiap ada pergantian menteri pendidikan sistem selalu berganti, entah hanya dengan dalih tidak sesuai dengan situasi serta kondisi pendidikan di Indonesia, atau masalah pendukung pendidikan lainnya yaitu masalah dana, dan yang lainnya.
Berbicara tentang pergantian sistem pendidikan di Indonesia yang sudah mengalami pergantian nama diantaranya adalah KTSP(Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan), KBK(Kurikulum Berbasis Kompetensi), Kurikulum 1999, dan masih banyak istilah lagi di dunia pendidikan ini sungguh sangat membingungkan bagi peserta didik bahkan pendidiknyapun tidak banyak yang  mengetahui akan hal itu.
Di era sekarang ini yang segala sesuatunya harus dengan uang, pemerintah cukup tanggap akan realita yang ada di kalangan pendidik. Maka, inisiatif memberikan berbagai tunjangan kepada para pendidik inilah yang dipilih pemerintah sebagai solusi. Akan tetapi, reaksi pemerintah ini tidak memberikan efek yang signifikan untuk kemajuan pendidikan. Justru memberikan peluang bagi para pelaku komersial di dunia pendidikan untuk melancarkan aksinya. Adanya tunjangan pendidikan untuk para pendidik ini malah semakin menghabiskan uang negara saja. Sebab, meskipun sudah mendapat gaji dan tunjangan yang layak para pendidik tetap saja merasa haus akan materi karena memang sifat manusia yang materialistis dan ditambah lagi dengan tuntutan zaman yang serba uang, uang, dan uang.
Inilah yang menyebabkan dunia pendidikan di Indonesia yang tidak kunjung mendapatkan pencerahan. Jika Paulo Freire berjihat di dunia pendidikan dengan keadaannya yang miskin,  justru memperoleh hasil yang memuaskan karena memang mampu mengangkat derajat pendidikan di Brazil. Lain halnya dengan pendidik di Indonesia, kayakan dulu pendidiknya baru peserta didik mendapatkan apa yang semestinya peserta didik dapatkan.
Tidak heran jika para orang tua murid harus mengeluarkan banyak uang demi memenuhi hak pendidikan anaknya, mengingat para pendidiknya haus akan imbalan. Konstalasi pendidikan yang seperti ini jika dibiarkan maka, akibat riilnya adalah hasilnya yang berimplikasi buruk pada kebrlangsungan negara, yakni negara ini akan semakin banyak di huni oleh pemuda pemuda yang berotakkan saku, apabila ada indikasi “kanker” (kantong Kering) maka berbagai strategi akan siap dilakukan. Sudah dapat di pastikan bahwasannya negara tidak memperkokoh pondasinya namun, malah menggerogoti pondasi tersebut karena ada Istilah pemuda adalah masa depan bangsa. Jika memang benar pemuda adalah masa depan bangsa maka, menjustifikasi nasib bangsa sangatlah mudah.
Keberhasilan sistem pendidikan memang tidak hanya bertumpu pada satu komponen saja, yaitu pendidik. Namun, sinergitas perlu dibangun juga untuk mencapai sebuah tujuan yang mulia, apalagi ini masalah yang urgen sekali. Sebab, pendidikan merupakan tolok ukur kemajuan suatu negara. Jika pendidikan  dinyatakan berhasil maka, kualitas SDM (sumber daya manusia)nya tidak perlu diragukan lagi, karena memang nasib suatu negara yang menentukan adalah manusianya.
Jika pemerintah menarik kembali tunjangan tunjangan untuk pendidik itu adalah tindakan yang kurang sesuai maka, pemerintah harus mampu membuat program baru memperbarui kualitas pendidik dalam koridor amal yang kongkrit, yaitu memotong minimal 1% saja dari gaji pendidik untuk menunjang anak bangsa yang tidak mampu merasakan pendidikan. Sehingga ada bukti kongkrit dari pengaplikasikan slogan jawa GURU, digugu lan ditiru. Digugu itu didengarkan setiap apa yang disampaikan oleh guru, dan ditiru itu adalah apa yang disampaikan, dilakukan oleh guru memang pantas dan patut untuk ditiru. Sehingga tidah ada lagi istilah menimbun harta untuk perut sendiri, yang ada adalah menimbun harta untuk anak bangsa.
Jika memang cara itu kurang sesuai maka, tunjangan yang diberikan oleh pemerintah ditarik kembali untuk menambah alokasi dana bantuan untuk peserta didik.
Istilah pahlawan tanpa tanda jasa sudah tidak pantas lagi dipersembahkan untuk guru jika, guru berorientasi materialistis. Lantas untuk siapa jabatan pahlawan tanpa tanda jasa itu dipersembahkan?ataukah pangkat pahlawan tanpa tanda jasa itu harus terkikis oleh guru “model” sekarang?wa allahu al a’lambi al shawab

makalah INTERELASI ISLAM DAN JAWA DALAM SASTRA DAN WAYANG


INTERELASI ISLAM DAN JAWA DALAM SASTRA DAN WAYANG

MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Islam dan Budaya Jawa
Dosen Pengampu : M. Rikza Chamami, M.SI


Disusun Oleh :
Fatchul Amar                         (113211081)
Nurul Husna                           (123111129)
Nur Faizah Rahmawati           (123311035)
Wisnu Deni Kresnawati          (103911060)




FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2013



I.            PENDAHULUAN
Istilah sastra Jawa secara praktis diartikan sebagai suatu bentuk aktifitas tulis menulis dari para pujangga Jawa dalam mengungkapkan nilai-nilai dan pandangan hidup dalam lingkup budaya Jawa. Kebudayaan ini memiliki elemen-elemen amat majemuk yang berakar pada etika, agama-agama yang berkembang dalam masyarakat Jawa.
Selain sastra, salah satu bagian yang khas dari proses perkembangan budaya di Jawa adalah wayang. Bicara tentang esensi budaya Jawa dapat dirumuskan dalam satu kata wayang. Hal ini seolah-olah sudah menjadi dalil bagi para pakar budaya Jawa. Mempelajari dan memahami wayang merupakan syarat yang tan keno ora untuk menyelami buadaya Jawa. Baik etos Jawa, maupun pandangan hidup Jawa, tergambar dan terjalin dengan baik dalam wayang.
Pada kesempatan kali ini, pemakalah berusaha menjelaskan sekilas mengenai interelasi nilai Jawa dan Islam dalam aspek sastra dan pewayangan yang sedikit banyak akan dituliskan dalam makalah ini. Harapannya, semoga sedikit tulisan ini bisa menambah pengetahuan serta ilmu bagi para pembaca.
                    
II.            RUMUSAN MASALAH
A.      Apa pengertian sastra dan apa saja jenis-jenis sastra itu?
B.       Bagaimanakah gambaran karya sastra di Jawa?
C.       Bagaimana interelasi Islam dan Jawa dalam karya sastra?
D.      Bagaimanakah sejarah pewayangan?
E.       Apa sajakah jenis-jenis wayang dan unsur-unsur apa sajakah yang ada dalam pertunjukkan wayang?
F.     Bagaimana perpaduan seni Islam dan jawa serta bagaimanakah interelasi Islam dan Jawa dalam wayang?


III.            PEMBAHASAN
A.      Pengertian dan Jenis-Jenis Sastra
Kata ‘sastra’ dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Sansekerta, yakni sas yang berarti mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk/instruksi, dan tra yang berarti alat, atau sarana, sehingga sastra berarti alat untuk mengajar.
Sastra merupakan suatu kegiatan kreatif yang terkait dengan hal-hal yang tertulis maupun tercetak, termasuk karya sastra lisan. Istilah sastra jawa secara praktis diartikan sebagai suatu bentuk aktifitas tulis menulis dari para pujangga Jawa dalam mengungkapkan nilai-nilai dan pandangan hidup dalam lingkup budaya Jawa. Kebudayaan ini memiliki elemen-elemen amat majemuk yang berakar pada etika, agama-agama yang berkembang dalam masyarakat Jawa.
Amatzaki mengemukakan bahwa jenis-jenis sastra meliputi;
1.      Karya sastra yang berbentuk prosa
Prosa lebih dekat dengan pemaparan, dalam sebuah pemaparan dikatakan mengandung nilai karya sastra karena di dalam pemaparan terdapat deretan peristiwa yang disampaikan dalam rangkaian kalimat yang membentuk sebuah wacana, tidak berbentuk bait dan baris.
2.      Karya sastra yang berbentuk puisi
Herman J. Walujo mengemukakan bahwa puisi sebagai bentuk kesusastraan yang paling tua. Karya-karya besar dunia seperti Oedipus, Hamlet, Mahabarata, Ramayana dan sebagainya ditulis dalam bentuk puisi.
3.      Karya sastra yang berbentuk drama
Karya sastra yang berbentuk drama ditentukan dengan adanya dialog antar tokoh dan dapat dinikmati melalui sebuah pementasan.


B.       Gambaran Karya Sastra di Jawa
Telah diuraikan bahwa puisi merupakan karya sastra yang paling tua, demikian pula karya sastra yang ada di Jawa, puisi merupakan karya sastra yang paling tua yang lazim disebut dengan mantra. Setelah mantra, muncul karya sastra yang lain, diantaranya parikan dan wangsalan.
Setiap tradisi di setiap suku bangsa Indonesia memiliki konsep bagaimana orang berhubungan dengan hal-hal gaib seperti mantra. Selain mantra, karya sastra yang berbentuk puisi di Indonesia adalah pantun dan syair. Pantun dan syair menunjukan ikatan yang kuat dalam strukutur kebahasaan.
Dalam tradisi budaya Jawa, karya sastra yang menyerupai pantun dan syair adalah parikan dan wangsalan. Parikan merupakan puisi berupa pantun model Jawa, yang hanya ada saran bunyi pada dua baris yang lazim disebut dengan sampiran. Sementara itu, dalam wangsalan, dua baris pertama tidak hanya merupakan saran bunyi, tetapi merupakan teka-teki yang akan terjawab pada unsur-unsur isinya.

C.      Interelasi Islam dengan Karya-Karya Sastra Jawa
Bentuk puisi yang dipakai dalam membuat karya-karya sastra para pujangga kraton Surakarta adalah puisi Jawa yang memiliki metrum Islam, yaitu Mijil, Kinanthi, Pucung, Sinom, Asmaradana, Dhandhanggula, Pangkur, Maskumambang, Durma, Gatruh, dan Megatruh. Tembang-tembang macapat yang berbentuk puisi Jawa itu mengandung nilai sastra. Alasannya puisi pada hakikatnya adalah karya sastra, dan bersifat imajinatif. Maksud dari keterkaitan antara Islam dengan karya-karya sastra Jawa adalah keterkaitan yang sifatnya imperatif moral. Artinya, keterkaitan itu menunjukkan warna keseluruhan/corak yang mendominasi karya-karya sastra tersebut.[1]
Dengan unsur-unsur keislaman yang terdapat dalam literatur-literatur Araba tau Arab Kejawen (pegon) kemudian digubah ke dalam bahasa dan sastra Jawa serta dipadukan dengan alam pikiran Jawa. Perpaduan antara unsur-unsur Islam dan Jawa itu membuahkan karya-karya baru. Masa ini ditandai dengan terbitnya karangan-karangan baru dalam kesusastraan Jawa baru. Oleh karena itu, sistem yang ditempuh oleh keluarga-keluarga istana Surakarta dan calon pujangga kesusastraan Jawa baru biasanya melalui pesantren dan mempelajari kitab-kitab kesusastraan Jawa lama.[2]

D.      Sejarah Pewayangan
Menurut Robert Von Helne Geldern dan K. A. H. Hiding wayang sebagaimana yang dikenal sekarang ini merupakan sebuah warisan budaya nenek moyang yang sangat tua, yang diperkirakan telah ada kurang lebih 3.500 tahun yang lalu.
Wayang adalah sebuah wira carita yang pada intinya mengisahkan kepahlawanan para tokoh yang berwatak baik menghadapi dan menumpas tokoh yang berbuat jahat. Wayang yang telah melewati berbagai peristiwa sejarah dari generasi ke generasi menunjukkan betapa budaya pewayangan telah melekat dan menjadi bagian hidup bangsa Indonesia khususnya jawa.
Usia yang demikian panjang, kenyataannya sampai sekarang masih digemari banyak orang, ini menunjukkan bahwa wayang mempunyai nilai tinggi dan sangat berarti bagi kehidupan masyarakat. Wayang yang cerita pokoknya bersumber dari buku Ramayana dan Mahabarata berasal dari India.[3]
Pada perkembangannya, wayang berulang kali mengalami perubahan, diantara periodisasinya adalah:
1.             Zaman Prasejarah
Pertunjukkan wayang pada zaman ini semula digunakan untuk memuja arwah-arwah nenek moyang. Bentuknya dari kulit yang menyerupai arwah nenek moyang dan lakon yang dimainkan tentang kepahlawanan dan petualangan nenek moyang, di penteskan malam hari di tempat keramat dengan menggunakan bahasa jawa murni.
2.             Zaman Mataram Kuno
Fungsi wayang kuno bertambah dari fungsi magik dengan fungsi alat pendidikan dan komunikasi. Sumber ceritanya atau lakon ceritanya dari kitap Ramayana dan Mahabarata yang diberi sifat lokal (mereka menganggap para dewa atau pahlawan sejajar dengan nenek moyang mereka).
3.             Zaman Jawa Timur
Pertunjukkan wayang pada zaman ini sudah mencapai bentuk yang sempurna, sehingga dapat mengharukan hati penonton. Bahasa yang dipakai adalah bahasa jawa kuno dengan kata-kata sangsekerta.
4.             Zaman kedatangan islam
Sejak masuknya islam maka sarana kegiatan budaya jawa berupa wayang dianyam secara canggih untuk memasukkan ajaran islam dengan kata lain digunakan sebagai media dakwah. Cerita yang diambil dari cerita-cerita babad yakni mencampur adukkan cerita Ramayana dengan ajaran-ajaran islam. Babad berupa prosa (gancaran) yang berisi riwayat dan sejarah seperti babad tanah jawi, babad demak dan lain-lain.[4]

E.       Beberapa Jenis Wayang dan Unsur-Unsur dalam Pertunjukan Wayang
Menurut jenis aktor dan aktrisnya, jenis wayang digolongkan menjadi lima golongan, yakni:
a.    Wayang kulit (pelaku yang muncul adalah boneka dua dimensi yang terbuat dari kulit atau tulang belulang)
b.    Wayang golek (pelaku yang muncul adalah boneka tiga dimensi yang terbuat dari kayu)
c.    Wayang wong atau wayang orang (pelaku yang muncul adalah orang)
d.   Wayang beber (pelakunya hanya digambar diatas kertas lebar yang digulung dan dibeber atau direntang)
e.    Wayang klitik (pelaku yang muncul adalah boneka yang terbuat dari kayu pipih).[5]   

Adapun beberapa unsur pelaksana dan alat dalam pertunjukan wayang adalah:
a.          Dalang adalah seniman utama dalam pertunjukkan wayang. Ia melaksanakan tugas untuk menjalankan skenario atau lakon dalam pewayangan
b.         Niyaga atau wiyaga adalah sebutan bagi para penabuh gamelan yang mengiringi pertunjukkan wayang
c.          Pesinden adalah seniwati yang mengiringi suara gamelan pada pagelaran wayang
d.         Wayang kulit adalah wayang wayang yang terbuat dari belulang atau kulit kerbau atau kulit lembu yang digunakan untuk memernkan suatu tokoh
e.          Panggung dan kelir adalah layar yang ada didepan dalang yang lebarnya sekitar 160 cm
f.          Debog adalah pohon pisang dibawah kelir yang direntang secara horizontal dan dipakai untuk menancapkan wayang
g.         Blencong adalah nama bagi lampu minyak kelapa yang digunakan dalam pertunjukkan wayang
h.         Kotak adalah peti wayang yang terbuat dari kayu yang digunakan untuk menyimpan berbagai peralatan, misalnya: wayang, kelir cempolo, kepyak, dll.
i.           Cempala adalah sebuah alat yang terbuat dari kayu yang bentuknya silindris, yang digunakan untuk mengetuk kotak yang ada disamping dalang
j.           Kepyak adalah alat yang fungsinya hamper sama dengan cempala tetapi tempatnya sudah menempel pada kotak
k.         Gamelan adalah alat music tradisional yang digunakan untuk mengiringi pertunjukkan wayang.[6]
Wayang sebagai pertunjukan merupakan ungkapan dan peragaan pengalaman religius yang merangkum bahwa wayang dan pewayangan mengandung filsafat yang dalam dan dapat memberi peluang untuk melakukan filsafati dan mistis sekaligus.[7]

F.     Perpaduan Seni Islam dan Jawa (Wayang)
Ajaran islam yang masuk tanpa kekerasan dan bersifat terbuka terhadap unsur-unsur kebudayaan lama yang telah ada mempengaruhi wujud dalam seni yaitu pertunjukkan seni, khususnya wayang. Suatu hasil karya cipta yang sarat akan simbolisme terdapat pada bentuk gunungan atau kayon, karya tersebut merupakan hasil ciptaan sunan kalijaga pada tahun 1443 saka. Dibalik kayon tersebut terlihat sunggingan yang menggambarkan api menyala. Ini merupakan surya sangkala yang berbunyi “geni dadi sucineng jagad” yang berarti geni (api) berwatak tiga, dadi (samudra) yang berwatak empat, suci (air) yang berwatak empat, dan jagad berwatak satu. Jadi angka-angka tersebut menunjukkan 3411. Sengkalan tersebut sebagai pertanda bahwa kepandaian sunan kalijaga dalam memahami dan memasukkan nilai dalam seni pewayangan, karena beliau mengartikan 3411 adalah penciptaan gunungan yang dicetuskan beliau pada tahun 1443.
Selain hal diatas, para wali juga telah merubah bentuk wayang yang semula sebelu islam masuk bentuk wayang menyerupai manusia. Hal tersebut merupakan larangan dalam agama islam, maka beliau berinisiatif mengubah bentuk wayang menjadi bentuk yang seperti sekarang.
Prof. K. MA. Machfoel telah menguraikan tentang makna punakawan yaitu semar, petrok, gareng dan bagong. Keempat figur diatas sama sekali tidak terdapat dalam buku ramayana dan mahabarata yang menjadi sumber pewayangan aslinya. Munculnya figur ponakawan merupakan hasil kreasi para mubaligh islam, mereka berpendapat punikawan berasal dari bahasa arab.
Semar” berasal dari kata “ismar”yang berarti paku, yang berfungsi sebagai pengokoh yang goyah, ibarat ajaran islam yang didakwahkan para walisongo diseluruh kerajaan majapahit yang pada waktu itu sedang terjadi pergolakan dan berakhir didirikannya kerajaan demak. Ini berarti islam adalah pengokoh keselamatan dunia.
Gareng” berasal dari kata nara korin yang berarti memperoleh banyak teman, ini disimbolkan bahwa walisongo sebagai juru dakwah harus mempunyai tugas untuk mencari teman sebanyak-banyaknya untuk kembali kejalan Allah.
Petrok” berasal dari kata fatruk yang berasal dari wejangan tasawuf yang berbunyi fat-ruk kulla ma siwallahiI, yang artinya tinggalkan segala sesuatu selain Allah. Wejangan tersebut menjadi watak para mubaligh pada waktu itu.
Bagong” berasal dari kata baghaa” yang artinya berontak yaitu berontak kepada kebatilan atau kemungkaran pada waktu itu.
            Ditinjau dari makna diatas, jelas bahwa manusia memerlukan pamomong dalam perjalanan hidup untuk mendekatkan diri kepada Allah berupa bimbingan yang berasal dari Allah juga. Manusia juga harus menyadari bahwa dirinya itu adalah makhluk yang lemah dan memerlukan perlindungan, tanpa bimbingan dari Allah manusia akan tersesat.

G.    Interelasi islam dan jawa dalam wayang
Interelasi nilai dan islam dalam aspek wayang merupakan salah satu bagian yang khas dari proses perkembangan budaya Jawa. Wayang merupakan suatu prodak budaya manusia yang didalamnya tekandung seni estetis. Wayang berfungsi sebagai tontonan dan tuntunan kehidaupan.
            Bicara tentang esensi budaya jawa dapat dirumuskan dalam satu kata wayang. Jadi mempelajari dan memahami wayang merupakan syarat yang tan keno ora atau condotio sine quanon untuk menyelami budaya Jawa. Baik etos jawa maupun pandangan hidup jawa, tergambar dan teralin dalam wayang.
            Antara wayang dan budaya Jawa ibarat sekeping uang logam yang tak terpisahkan. Karena bagi masyarakat Jawa wayang tidak hanya sekedar hiburan, tetapi juga sebagai media pendidikan maupun media dakwah.
            Wayang mengandung makna lebih jauh dan mendalam karena mengungkapkan gambaran hidup semesta (wewayange urip). Wayang dapat memberikan gambaran lakon kehidupan umat manusia dengan segala masalahnya. Dalam dunia pewayangan tersimpan nilai-nilai pandangan hidup jawa dalam menghadapi dan mengatasi segala tantangan dalam kehidupan. Upaya untuk mencapai titik temu antara budaya jawa dan islam, yaitu singkatan sengkalan (sangkakala) tanda zaman, yakni sirno/ilang kertaning bumi yang dibaca terbalik yakni 1400 S atau 1478S.
            Itulah saat terjadinya peralihan kerajaan Majapahit ke kerajaan Demak, yang menurut mitos ditandai dengan hilangnya  sabda palon. Mitos itu sesungguhnya mengandung makna simbolik perihal wawasan kosmologis. Sabdo diartikan kata dan palon  diartikan wilayah. Sehingga sabdo palon diartikan konsep tentang ruang dan waktu. Perubahan Majapahit ke Demak membawa implikasi baru yang lebih luas melalui hindu menuju islam. jimat kalimasada yang bersal dari kata kali maha sada ditransformasikan menjadi kalimat syahadat atau tradisi sekaten yang berasal dari kata Nyi sekati diubah menjadi syahadataen. Sedangkan nilai-nilai spirit islam dalam di lihat dari dua hal yaitu: simbolisme dalam wayang kulit dan tokoh-tokoh dalam wayang kulit.[8]
Kita semua mengetahui, bahwa bagi masyarakat Jawa, wayang tidaklah hanya sekedar tontonan, tetapi juga tuntunan. Wayang bukan sekedar sebagai sarana hiburan, tetapi juga sebagai media komunikasi, media penyuluhan dan media pendidikan. Oleh karena itu, melihat pertunjukan wayang ataupun sekedar mendengarkan kaset rekaman wayang, tidak pernah membosankan meskipun cerita atu lakonnya hanya itu-itu saja.[9]
Wayang mengajarkan filsafat laku yang bersumber dari rasa dan hati nurani manusia yang paling dalam, sehingga ruang humanisme semakin terbuka di dalamnya, manusia diupayakan untuk mencintai seluruh makhluk yang ada di atas bumi ini. Karena manusia menjadi seorang pengelola di atas bumi ini yang memiliki tanggung jawab untuk melakukan semua dengan baik.[10]
 Wayang sekarang tidak hanya milik orang Jawa, namun sudah menjadi kebanggan bangsa Indonesia. Untuk itu, kita patut menjaga dan melestarikannya.



 IV.            PENUTUP
Sastra merupakan suatu kegiatan kreatif yang terkait dengan hal-hal yang tertulis maupun tercetak, termasuk karya sastra lisan. Istilah sastra jawa secara praktis diartikan sebagai suatu bentuk aktifitas tulis menulis dari para pujangga Jawa dalam mengungkapkan nilai-nilai dan pandangan hidup dalam lingkup budaya Jawa. Sastra bisa berbentuk puisi, prosa dan drama. Di antara contoh karya sastra Jawa dengan metrum Islam adalah Mijil, Kinanthi, Pucung, Sinom, Asmaradana, Dhandhanggula, Pangkur, Maskumambang, Durma, Gatruh, dan Megatruh.
Wayang adalah sebuah wira carita yang pada intinya mengisahkan kepahlawanan para tokoh yang berwatak baik menghadapi dan menumpas tokoh yang berbuat jahat. Di antara jenis-jenis wayang adalah wayang kulit, golek, wong, dan klitik. Ajaran islam yang masuk tanpa kekerasan dan bersifat terbuka terhadap unsur-unsur kebudayaan lama yang telah ada mempengaruhi wujud dalam seni yaitu seni pertunjukkan khususnya wayang.


















DAFTAR PUSTAKA
Amrin Ra’uf, Jagad Wayang, Jogjakarta: Garailmu, 2010

Budiono Herusatoto, Mitolog Jawa, Depok: Oncor Semesta Ilmu, 2012

Darori Amin, dkk, Islam dan Budaya Jawa, Yogyakarta:Gama Media, 2000

Dhanu Priyo Ptrabowo, Pengaruh Islam Dalam Karya-Karya R.Ng. Ranggawarsita, Yogyakarta: NARASI, 2003

Edi Sedyawati, dkk, SejarahKebudayaan Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers, 2009

Heniy Astiyanto, Filsafat Jawa: Menggali Butir-Butir Kearifan Lokal, Yogyakarta: Warta Pusaka 2006

Sujamto, Wayang dan Budaya Jawa, Semarang; Dahara Prize, 1992

Tim Pangripta Basa Jawa, kawruh Basa Jawa, Surakarta: Setiaki, 1999 
BIODATA PEMAKALAH

1.      Nama                           : WISNU DENI KRESNAWATI
NIM                            : 103911060
Jurusan                        : PGMI
TTL                             : Pati, 6 Juni 1992
Alamat                         : Ds. Dukutalit Rt. 05/Rw.02 Juwana-Pati
Pendidikan
Ø  SD                  : SD N Dukutalit 02 Juwana
Ø  SMP               : SMPN 02 Juwana
Ø  SMA               : MA Mathali’ul Falah Juwana
Ø  S1                   : IAIN Walisongo Semarang
No. Hp                        : 089 982 252 431
E-mail                          : Deni.kresnawati@yahoo.com

2.      Nama                           : NURUL HUSNA
NIM                            : 123111129
Jurusan                        : Pendidikan Agama Islam
TTL                             : Rembang, 23 Desember 1994
Alamat                                    : Ds. Gandrirojo, Sedan, Rembang
Pendidikan
Ø  SD                   : MI YSPIS Gandrirojo, Sedan, Rembang
Ø  SMP                : MTs YSPIS Gandrirojo, Sedan, Rembang
Ø  SMA               : MA YSPIS Gandrirojo, Sedan, Rembang
Ø  S1                    : IAIN Walisongo Semarang
No. Hp                       : 089 857 074 50
E-mail                          : uyunknurulhusna@yahoo.com

3.      Nama                           : FATCHUL AMAR
NIM                            : 113211081
Jurusan                        : Pendidikan Bahasa Arab
TTL                             : Demak, 26 Oktober 1993
Alamat                                    : Ds. Kenduren Rt. 06/Rw.03, Wedung, Demak
Pendidikan
Ø  SD                   : MI NU Salafiyah Kenduren
Ø  SMP                : MTs NU Salafiyah Kenduren
Ø  SMA               : MA NU Salafiyah Kenduren NU Salafiyah
Ø  S1                    : IAIN Walisongo Semarang
No. Hp                                    : 085 740 641 064
E-mail                          : fatchulamar@yahoo.com

4.      Nama                           : Nur Faizah Rahmawati
NIM                            : 123311035
Jurusan                        : Pendidikan Bahasa Arab
TTL                             : Rembang, 18 Januari 1993
Alamat                         : Ds, Bonang – Lasem - Rembang
Pendidikan
Ø  SD                   : SD Bonang
Ø  SMP                : MTs Raudlatul Ulum Guyangan
Ø  SMA               : MA Raudlatul Ulum Guyangan
Ø  S1                   : IAIN Walisongo Semarang
No. Hp                                    : 085726 802 342
E-mail                          : faizah_nurrahma@yahoo.com


[1] Darori Amin, dkk, Islam dan Budaya Jawa, (Yogyakarta:Gama Media, 2000), hlm. 150-151
[2] Dhanu Priyo Ptrabowo, Pengaruh Islam Dalam Karya-Karya R.Ng. Ranggawarsita, (Yogyakarta: NARASI, 2003), hlm. 6
[3] Burhan Nugiantoro, Transformasi Unsur Pewayangan Dalam Fiksi Indonesia, hlm. 24.
[4] Budiono Herusatoto, Mitolog Jawa, (Depok: Oncor Semesta Ilmu, 2012), hlm. 5.
[5] Edi Sedyawati, dkk, SejarahKebudayaan Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), hlm. 35-39.
[6] Tim Pangripta Basa Jawa, kawruh Basa Jawa, (Surakarta: Setiaki, 1999), hlm. 64.
[7] Heniy Astiyanto, Filsafat Jawa: Menggali Butir-Butir Kearifan Lokal, (Yogyakarta: Warta Pusaka 2006), hlm. 364
[8] Darori Amin, dkk, Islam dan Budaya Jawa,  hlm. 173.
[9] Sujamto, Wayang dan Budaya Jawa, (Semarang; Dahara Prize, 1992), hlm. 26-27
[10] Amrin Ra’uf, Jagad Wayang, (Jogjakarta: Garailmu, 2010), hlm. 78