Kampus
dan Ketahanan Negara
Oleh:
Nur Faizah Rahmawati
Mahasiswi
Manajemen Pendidikan Islam UIN Walisongo Semarang dan Staff Pengajar di PAUD Mellatena Semarang
Kampus
merupakan urat nadi kemajuan suatu negara, mengingat kampus merupakan pusat studi
dan riset. Hal ini senada dengan perspektif Al-Ghazali, Pestalozi, Plato, dan
J.J Rousseau sebagai reformer masyarakat, bahwa perbaikan kualitas Sumber Daya
Manusia (SDM) hanya bisa dilakukan melalui pendidikan. Dengan demikian, para
akademisi bertanggung jawab atas realisasi itu.
Sehubungan
dengan hal itu, perguruan tinggi sudah seharusnya menjalankan peran dan fungsinya
dengan baik, yaitu sebagai agent of social change. Oleh karena itu,
tentu tidak akan sulit bagi kaum akademisi mewujudkan tugasnya untuk menjawab
tantangan dunia. Terlebih tantangan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) dan bonus
demografi.
Selain
sebagai pusat studi dan riset, perguruan tinggi (baca: kampus) juga menjadi tempat
saling bertukarnya budaya dari berbagai wilayah yang universal. Dengan
berproses di kampus, maka perkumpulan budaya-budaya tersebut otomatis akan
memperkuat rasa persatuan dan kesatuan antar mahasiswa dan saling toleransi
(Bhinneka Tunggal Eka). Bermodal persatuan dan kesatuan tersebut, mampu
dijadikan kendaraan untuk mempertahankan republik ini.
Dalam
konteks ini Panglima TNI, Jenderal Moeldoko mengatakan bahwa kampus harus bisa
memunculkan agen-agen perubahan melalui perubahan lingkungan yang dipelopori
oleh mahasiswa dan para sarjana (SM, 11/02/2015). Sementara Moeldoko mengatakan
bahwa pendidikan bela negara harus diberikan di perguruan tinggi. Argumentasi
ini dimaksudkan untuk mempersatukan seluruh mahasiswa dari berbagai wilayah
yang berbackground berbeda-beda melalui proses akulturasi budaya yang
terjadi di kampus.
Hal
ini dimaksudkan untuk menjembatani adanya berbagai budaya yang masuk di kampus.
Budaya-budaya tersebut diharapkan tetap berbingkai satu dalam bingkain tujuan
Negara, yaitu menjunjung tinggi Nasionalisme. Sikap Nasionalisme tersebut
tentunya bukan hanya berbentuk ritual atau symbol saja namun, bentuk Nasionalisme
yang diharapkan adalah menjadikan kampus sebagai pusat pembelajaran, kampus
menjadi tata nilai, dan kampus sebagai pusat kebudayaan.
Jika
akulturasi budaya tersebut berada di bawah panji bela Negara, maka ketahanan
Negara akan kokoh. Ketahanan Negara tersebut dinilai penting mengingat
tantangan Negara yang semakin di depan mata, MEA misalnya. Meskipun ekonomi
bukan satu-satunya ketahanan Negara, setidaknya kedinamisan kondisi Negara ini
sangat erat kaitannya dengan perekonomian. Pada tahun 1949, para tokoh baik
individu maupun kelompok gundah gulana atas keadaan sistem perekonomian di Indonesia. Akhirnya Sumitro
Djojohadikusumo dalam pidatonya di Amerika menyampaikan perihal sistem yang
akan digunakan.
Inilah
mengapa Jenderal Moeldoko juga beranggapan bahwa ketahanan nasional yang baik
akan menjamin pertumbuhan ekonomi yang baik pula. Hal ini disebabkan karena kepercayaan
para investor untuk berinvestasi kepada Negara yang aman. Bahkan Negara-negara
peserta MEA akan berkompetisi memperkuat ketahanan Negaranya di Desember
mendatang.
Berlangsungnya
MEA tersebut perlu mendapat antisipasi dari rakyat Indonesia, khususnya kaum
terpelajar. Jangan sampai pasca MEA diberlakukan, SDM nasional terkalahkan oleh
SDM internasional. Tentunya harus ada langkah preventif dari pihak kampus yang
notabene sebagai produsen SDM. Dalam hal ini para steakholder kampus harus
bersinergi dalam mewujudkan peran dan fungsi kampus sebagai pencetak agent
of change yang benar-benar “laku” jika dipasarkan .Wa allahu A’lamu bi
al-Shawab.