Rabu, 20 Mei 2015

Untukmu, Perempuan!

Mengendus Gerak Perempuan di Senayan
Oleh : Nur Faizah Rahmawati
Direktur APPI Monash Institute (Aliansi Pemimpin Perempuan Idealis Monash Institute), Aktif di LeSAN (Lembaga Studi Agama dan Nasionalisme), Mahasiswi Kependidikan Islam  UIN Walisongo Semarang.
Berdirinya bangsa dan negara tidak bisa dilepaskan dari peran kaum perempuan. Artinya, perempuan merupakan tiang negara. Baik buruknya suatu bangsa, mampu ditentukan oleh seorang wanita. Hal ini senada dengan Ir. Soekarno yang mengungkapkan bahwa baik-buruknya suatu bangsa dan negara tergantung pada kaum wanita. Banyak contoh yang mencerminkan bahwa eksistensi atau sentuhan perempuan sangat dibutuhkan. Misalkan dalam kehidupan nyata, perempuan adalah sekolah pertama bagi anak. Tak hanya itu, perempuan sebagai bagian kehidupan bernegara ikut bertanggungjawab membawa negeri ini ke depan pintu gerbang kemajuan, menuju ketinggian peradaban.
Sejarah Indonesia mencatat bahwa setiap peristiwa penting yang terjadi di negeri ini, kaun perempuan selalu ikut di dalamnya. Tentu kita masih mengingat bagaimana kiprah kaum wanita pada masa orde baru. Saat itu, sayap kekuatan politik Soekarno ada di dua kubu, yakni Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia). Bahkan sesungguhnya gerakan wanita sudah muncul sebelum Indonesia merdeka. Salah satu contohnya adalah “Puteri Mardiko” yang didirikan oleh Boediono pada tahun 1912. Salah satu tujuan organisasi ini adalah untuk mengangkat derajat kaum wanita sekaligus memberikan wadah bagi mereka untuk berekspresi, kreasi, inovasi dan tentunya memerdekakan bumi pertiwi.
Jadi, di era modern seperti sekarang ini, memandang wanita sebelah mata sudah tidak zamannya lagi. Namun, mau tidak mau kita harus katakan bahwa masyarakat masih  memandang sebelah mata eksistensi perempuan.  Tugas perempuan itu di kasur, dapur, dan sumur. Ironisnya, kaum wanita pun juga ikut mengamini. Konstruksi masyarakat terutama kaum adam mengatakan bahwa tugas kaum hawa itu di kasur, sumur dan dapur sungguh merupakan kesalahan yang patut kita luruskan. Sebab, diakui mapun tidak, doktrin tersebut telah mengakar sekaligus sudah menjadi budaya. Inilah yang terjadi saat ini sehingga doktrin tersebut menancap sekaligus menjadi momok bagi kaum wanita. Jangankan untuk negara, mengurusi diri sendiri saja belum tentu bisa.
Sama Kuatnya
Menjadi perempuan bukanlah sebuah pilihan. Wanita itu mulia, saking mulianya Nabi Muhammad saw. Ketika ditanya sahabat tentang siapa yang paling mulia di bumi ini. Nabi Muhammad menjawab: “Ibu, Ibu, Ibu, tiga kali baru bapak. Bahkan Almarhum Ustadz Jefri Al Buchori mengatakan: “Jika Dilahirkan Kembali, Aku Ingin Menjadi Perempuan”.
Dua pernyataan tokoh diatas secara tegas dan lugas mencerminkan betapa mulianya menjadi perempuan. Bagi perempuan dua “senjata” tersebut tentunya harus dijadikan pijakan atau motivasi bahwa perempuan adalah sosok yang kuat. Antara laki-laki dan perempuan memang terdapat perbedaan tugas tanggung jawab, perempuan melahirkan dan laki-laki mencari rizki. Jika menggunakan istilah Mansour Fakih mengenai gender, maka perbedaan itu terdapat pada jenis kelamin yang kemudian menurunkan pembagian tugas kodrati saja. Namun, jika menggunkan makna gender yang cenderung menyoal tentang peran, maka antara perempuan dan laki-laki tidak ada perbedaan.
Pembahasan mengenai politik dewasa ini menjadi tren. Bagaimana tidak. Harga tahu, tempe, kemajuan pendidikan, bahkan posisi perempuan sekalipun tergantung keputusan politik. Pertanyaannya, sejauh mana kiprah perempuan dalam politik? Dalam kancah politik memang sangat jarang menemukan perempuan yang total di dalam. Hal ini disebabkan oleh paradigma perempuan yang sudah terpatri dalam setiap individu bahwa kesuksesan wanita itu ada di rumah tangga. Hal inilah yang menghambat minat perempuan untuk “keluar”. Padahal kalau berbicara kemampuan, Tuhan memberikan kapasitas yang sama antara kemampuan laki-laki dan perempuan dalam organ sentral yang bernama otak. Sehingga, alasan kapasitas tidak bisa dijadikan alasan untuk membedakan. Abraham Maslow dalam Hirarki Kebutuhannya, setiap orang mempunyai hak yang sama dalam mengaktualisasikan dirinya, termasuk perempuan.
Keenggangan perempuan yang mempunyai kapasitas yang memadai inilah yang membuat kondisi negara semakin memburuk. Hal ini senada dengan politisi dari kalangan akademisi, Anis Baswedan yang mengungkapkan bahwa, kerusakan negara ini bukan karena bertambahnya penjahat maupun koruptor, namun orang baik yang tidak mau berpolitik. Maka tak heran jika setiap hari kita disuguhi pemberitaan banyak pejabat terjerat korupsi. Pasalnya, negara ini diurus oleh orang-orang jahat yang berpolitik ala Machiavelli.
Pacu Perempuan Berpolitik
Apabila perempuan-perempuan yang notabene berhati lembut, mulia tidak berkenan mengurus negara, maka dukunglah perempuan-perempuan yang mempunyai niat mulia tersebut. Harapanya adalah perempuan mampu mengabdi untuk negeri, membawa kemajuan negeri, dan membenahi tatanan negara yang semakin “ngeri” ini. Rieka Diah Pitaloka di senayan, Tri Rismaharini di Surabaya, Rusti Ningsih di Jawa Tengah dan masih banyak lainnnya perempuan yang ikut berpolitik. Sederet nama tersebut menununjukkan bahwa perempuan bisa.

Seandainya para perempuan saja sudah tidak menaruh kepercayaan kepada perempuan, terus mau menunggu sampai kapan ada perempuan di depan? Sampai kapan Indonesia akan mempunyai sosok Tarja Halonen yang mampu memimpin Finlandia selama 14 tahun 10 hari? Inilah yang perlu disadari oleh para perempuan, berikanlah kepercayaan kepada perempuan-perempuan yang mendedikasikan diri untuk negeri. Mari bersama-sama mendukung para bidadari berhati mulia untuk membangun negeri. Wa Allahu Al a’lam bi al shawwab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar