Mengendus Gerak
Perempuan di Senayan
Oleh : Nur
Faizah Rahmawati
Direktur APPI
Monash Institute (Aliansi Pemimpin Perempuan Idealis Monash Institute), Aktif
di LeSAN (Lembaga Studi Agama dan Nasionalisme), Mahasiswi Kependidikan Islam UIN Walisongo Semarang.
Berdirinya bangsa dan negara tidak
bisa dilepaskan dari peran kaum perempuan. Artinya, perempuan merupakan tiang
negara. Baik buruknya suatu bangsa, mampu ditentukan oleh seorang wanita. Hal
ini senada dengan Ir. Soekarno yang mengungkapkan bahwa baik-buruknya suatu
bangsa dan negara tergantung pada kaum wanita. Banyak contoh yang mencerminkan
bahwa eksistensi atau sentuhan perempuan sangat dibutuhkan. Misalkan dalam
kehidupan nyata, perempuan adalah sekolah pertama bagi anak. Tak hanya itu,
perempuan sebagai bagian kehidupan bernegara ikut bertanggungjawab membawa
negeri ini ke depan pintu gerbang kemajuan, menuju ketinggian peradaban.
Sejarah Indonesia mencatat bahwa
setiap peristiwa penting yang terjadi di negeri ini, kaun perempuan selalu ikut
di dalamnya. Tentu kita masih mengingat bagaimana kiprah kaum wanita pada masa
orde baru. Saat itu, sayap kekuatan politik Soekarno ada di dua kubu, yakni
Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia). Bahkan
sesungguhnya gerakan wanita sudah muncul sebelum Indonesia merdeka. Salah satu
contohnya adalah “Puteri Mardiko” yang didirikan oleh Boediono pada tahun 1912.
Salah satu tujuan organisasi ini adalah untuk mengangkat derajat kaum wanita
sekaligus memberikan wadah bagi mereka untuk berekspresi, kreasi, inovasi dan
tentunya memerdekakan bumi pertiwi.
Jadi, di era modern seperti sekarang
ini, memandang wanita sebelah mata sudah tidak zamannya lagi. Namun, mau tidak
mau kita harus katakan bahwa masyarakat masih memandang sebelah mata eksistensi perempuan. Tugas perempuan itu di kasur, dapur, dan
sumur. Ironisnya, kaum wanita pun juga ikut mengamini. Konstruksi masyarakat
terutama kaum adam mengatakan bahwa tugas kaum hawa itu di kasur, sumur dan
dapur sungguh merupakan kesalahan yang patut kita luruskan. Sebab, diakui mapun
tidak, doktrin tersebut telah mengakar sekaligus sudah menjadi budaya. Inilah
yang terjadi saat ini sehingga doktrin tersebut menancap sekaligus menjadi
momok bagi kaum wanita. Jangankan untuk negara, mengurusi diri sendiri saja
belum tentu bisa.
Sama Kuatnya
Menjadi perempuan bukanlah sebuah
pilihan. Wanita itu mulia, saking mulianya Nabi Muhammad saw. Ketika ditanya
sahabat tentang siapa yang paling mulia di bumi ini. Nabi Muhammad menjawab:
“Ibu, Ibu, Ibu, tiga kali baru bapak. Bahkan Almarhum Ustadz Jefri Al Buchori
mengatakan: “Jika Dilahirkan Kembali, Aku Ingin Menjadi Perempuan”.
Dua pernyataan tokoh diatas secara
tegas dan lugas mencerminkan betapa mulianya menjadi perempuan. Bagi perempuan
dua “senjata” tersebut tentunya harus dijadikan pijakan atau motivasi bahwa
perempuan adalah sosok yang kuat. Antara laki-laki dan perempuan memang
terdapat perbedaan tugas tanggung jawab, perempuan melahirkan dan laki-laki
mencari rizki. Jika menggunakan istilah Mansour Fakih mengenai gender, maka
perbedaan itu terdapat pada jenis kelamin yang kemudian menurunkan pembagian
tugas kodrati saja. Namun, jika menggunkan makna gender yang cenderung menyoal
tentang peran, maka antara perempuan dan laki-laki tidak ada perbedaan.
Pembahasan mengenai politik dewasa
ini menjadi tren. Bagaimana tidak. Harga tahu, tempe, kemajuan pendidikan,
bahkan posisi perempuan sekalipun tergantung keputusan politik. Pertanyaannya,
sejauh mana kiprah perempuan dalam politik? Dalam kancah politik memang sangat
jarang menemukan perempuan yang total di dalam. Hal ini disebabkan oleh
paradigma perempuan yang sudah terpatri dalam setiap individu bahwa kesuksesan
wanita itu ada di rumah tangga. Hal inilah yang menghambat minat perempuan
untuk “keluar”. Padahal kalau berbicara kemampuan, Tuhan memberikan kapasitas
yang sama antara kemampuan laki-laki dan perempuan dalam organ sentral yang
bernama otak. Sehingga, alasan kapasitas tidak bisa dijadikan alasan untuk
membedakan. Abraham Maslow dalam
Hirarki Kebutuhannya, setiap orang mempunyai hak yang sama dalam
mengaktualisasikan dirinya, termasuk perempuan.
Keenggangan perempuan yang
mempunyai kapasitas yang memadai inilah yang membuat kondisi negara semakin
memburuk. Hal ini senada dengan politisi dari kalangan akademisi, Anis Baswedan
yang mengungkapkan bahwa, kerusakan negara ini bukan karena bertambahnya
penjahat maupun koruptor, namun orang baik yang tidak mau berpolitik. Maka tak
heran jika setiap hari kita disuguhi pemberitaan banyak pejabat terjerat
korupsi. Pasalnya, negara ini diurus oleh orang-orang jahat yang berpolitik ala
Machiavelli.
Pacu Perempuan Berpolitik
Apabila perempuan-perempuan yang
notabene berhati lembut, mulia tidak berkenan mengurus negara, maka dukunglah
perempuan-perempuan yang mempunyai niat mulia tersebut. Harapanya adalah
perempuan mampu mengabdi untuk negeri, membawa kemajuan negeri, dan membenahi
tatanan negara yang semakin “ngeri” ini. Rieka Diah Pitaloka di senayan, Tri
Rismaharini di Surabaya, Rusti Ningsih di Jawa Tengah dan masih banyak lainnnya
perempuan yang ikut berpolitik. Sederet nama tersebut menununjukkan bahwa
perempuan bisa.
Seandainya para perempuan saja
sudah tidak menaruh kepercayaan kepada perempuan, terus mau menunggu sampai
kapan ada perempuan di depan? Sampai kapan Indonesia akan mempunyai sosok Tarja
Halonen yang mampu memimpin Finlandia selama 14 tahun 10 hari? Inilah yang
perlu disadari oleh para perempuan, berikanlah kepercayaan kepada
perempuan-perempuan yang mendedikasikan diri untuk negeri. Mari bersama-sama
mendukung para bidadari berhati mulia untuk membangun negeri. Wa Allahu Al
a’lam bi al shawwab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar