Rabu, 20 Mei 2015

Mempertahankan Kampus

Kampus dan Ketahanan Negara
Oleh: Nur Faizah Rahmawati
Mahasiswi Manajemen Pendidikan Islam UIN Walisongo Semarang dan Staff Pengajar di PAUD Mellatena Semarang
Kampus merupakan urat nadi kemajuan suatu negara, mengingat kampus merupakan pusat studi dan riset. Hal ini senada dengan perspektif Al-Ghazali, Pestalozi, Plato, dan J.J Rousseau sebagai reformer masyarakat, bahwa perbaikan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) hanya bisa dilakukan melalui pendidikan. Dengan demikian, para akademisi bertanggung jawab atas realisasi itu.
Sehubungan dengan hal itu, perguruan tinggi sudah seharusnya menjalankan peran dan fungsinya dengan baik, yaitu sebagai agent of social change. Oleh karena itu, tentu tidak akan sulit bagi kaum akademisi mewujudkan tugasnya untuk menjawab tantangan dunia. Terlebih tantangan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) dan bonus demografi.
Selain sebagai pusat studi dan riset, perguruan tinggi (baca: kampus) juga menjadi tempat saling bertukarnya budaya dari berbagai wilayah yang universal. Dengan berproses di kampus, maka perkumpulan budaya-budaya tersebut otomatis akan memperkuat rasa persatuan dan kesatuan antar mahasiswa dan saling toleransi (Bhinneka Tunggal Eka). Bermodal persatuan dan kesatuan tersebut, mampu dijadikan kendaraan untuk mempertahankan republik ini.
Dalam konteks ini Panglima TNI, Jenderal Moeldoko mengatakan bahwa kampus harus bisa memunculkan agen-agen perubahan melalui perubahan lingkungan yang dipelopori oleh mahasiswa dan para sarjana (SM, 11/02/2015). Sementara Moeldoko mengatakan bahwa pendidikan bela negara harus diberikan di perguruan tinggi. Argumentasi ini dimaksudkan untuk mempersatukan seluruh mahasiswa dari berbagai wilayah yang berbackground berbeda-beda melalui proses akulturasi budaya yang terjadi di kampus.
Hal ini dimaksudkan untuk menjembatani adanya berbagai budaya yang masuk di kampus. Budaya-budaya tersebut diharapkan tetap berbingkai satu dalam bingkain tujuan Negara, yaitu menjunjung tinggi Nasionalisme. Sikap Nasionalisme tersebut tentunya bukan hanya berbentuk ritual atau symbol saja namun, bentuk Nasionalisme yang diharapkan adalah menjadikan kampus sebagai pusat pembelajaran, kampus menjadi tata nilai, dan kampus sebagai pusat kebudayaan.
Jika akulturasi budaya tersebut berada di bawah panji bela Negara, maka ketahanan Negara akan kokoh. Ketahanan Negara tersebut dinilai penting mengingat tantangan Negara yang semakin di depan mata, MEA misalnya. Meskipun ekonomi bukan satu-satunya ketahanan Negara, setidaknya kedinamisan kondisi Negara ini sangat erat kaitannya dengan perekonomian. Pada tahun 1949, para tokoh baik individu maupun kelompok gundah gulana atas keadaan sistem perekonomian di Indonesia. Akhirnya Sumitro Djojohadikusumo dalam pidatonya di Amerika menyampaikan perihal sistem yang akan digunakan.
Inilah mengapa Jenderal Moeldoko juga beranggapan bahwa ketahanan nasional yang baik akan menjamin pertumbuhan ekonomi yang baik pula. Hal ini disebabkan karena kepercayaan para investor untuk berinvestasi kepada Negara yang aman. Bahkan Negara-negara peserta MEA akan berkompetisi memperkuat ketahanan Negaranya di Desember mendatang.
Berlangsungnya MEA tersebut perlu mendapat antisipasi dari rakyat Indonesia, khususnya kaum terpelajar. Jangan sampai pasca MEA diberlakukan, SDM nasional terkalahkan oleh SDM internasional. Tentunya harus ada langkah preventif dari pihak kampus yang notabene sebagai produsen SDM. Dalam hal ini para steakholder kampus harus bersinergi dalam mewujudkan peran dan fungsi kampus sebagai pencetak agent of change yang benar-benar “laku” jika dipasarkan .Wa allahu A’lamu bi al-Shawab.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar