Senin, 08 Juni 2015

Ultra Petita



Ayahku Diktator Hebat!
Kekeluargaan yang tampak membahagiakan di saat resepsi pernikahan para tanteku itulah yang menyebabkan aku berkeinginan untuk mondok lagi selepas dari pesantren SMAku. Ya, kekeluargaan yang bukan dari garis nasab itulah yang mengalahkan gengsiku menerima tawaran ibuku untuk melanjutkan sekolah diluar semarang.
            Pilihan seorang ibu memang tidak salah. Syukurku pada Tuhan tiada tara, karena dua misi sekaligus aku dapatkan dalam satu waktu, yaitu melanjutkan sekolah tinggi dengan gratis dan mendapatkan ultra petita yaitu, “ayah” baru.
Ayah baruku terlalu sempurnya bagiku, mungkin ini ultra petita dari Tuhan, demi mengembalikan semangatku yang hampir terputus dari kasih sayang Tuhan. Dia selalu tampil rapi, siap, sigap dengan segala kondisi, dan semangat meskipun kesederhanaan selalu melekat pada dirinya. Bukan karena tidak punya harta, namun teladanlah yang membuat laki-laki berusia 34 ini selalu tampil sederhana. Kesederhaan itu bukan berarti menunjukkan kesederhanaan ilmu abah HOHE, melainkan iplementasi dari capaian tertinggi ibadahnya pada sang penguasa alam.
Ayahku seorang penghafal al-qur’an. Segalanya didasarkan pada al-qur’an, bahkan doktor ilmu politik ini berambisi melahirkan kader-kader yang berkarakter qur’ani. Tidak tanggung-tanggung, kedua anaknya hokma dan hekma dijadikan kelinci percobaan atas ambisi tersebut.
Ayahku seorang yang cerdas spiritual, intelektual, maupun finansial. Seandainya kecerdasan ayahku dipakai dalam segala kondisi, aku yakin sosok Muhammad mampu tergambar jelas dalam diri laki-laki kelahiran rembang 1 april 1979 ini. Meskipun demikian, ayahku adalah sosok manusia yang paling disiplin sepanjang yang aku temukan. Saking disiplinnya, laki-laki berambut hitam lebat itu rela kelaparan demi ucapan yang pernah dilontarkannya di depan anak-anaknya.
Ayahku selain berdisiplin tinggi juga sangat tegas, layaknya Umar bin Al-Khattab sahabat Nabi. Ketegasan laki-laki yang sudah hafal al-Qur’an semenjak kelas 2 SMA tidak pernah menampakkan kemarahannya terhadap anak-anaknya. Kalaupun terpaksa marah, cara yang dilakukan laki-laki pecinta sambal ini meniru cara Allah mengadzab hamba-hambanya. Hukuman inilah yang sering kali membuat para anaknya segan pada suami dokter spesialis anak RSUP dr. Karyadi Semarang. Meskipun Al-Ghazali mengajarkan bahwa, seorang pendidik (guru, orang tua) harus menggunakan cara mendidik yang sesuai dengan latar belakang anak didiknya, komisaris salah satu BUMN ini memilih untuk menggunakan cara yang sama dalam mendidik anak, termasuk dalam menghardik anak didiknya.
Sering kali aku merasa kasihan pada ayah atas apa yang menjadi angan serta harapan untuk masa depan kami, anak-anaknya (itupun kalau masih pantas menjadi anak). Entah ayah ideologisku tahu apa tidak konstalasi yang terjadi pada anak-anaknya, aku tidak tahu. yang aku tahu hanyalah perubahan perlakuan saja. Hal inilah yang membuat ketidak totalan kerja anak-anaknya. Apalagi dengan label yang melekat pada anak-anaknya, seolah menutup mata ayahku untuk berbalik arah melirik kami yang “beda”. Bukan karena iri maupun dengki, namun keinginan untuk “disentuh” seorang ayah adalah perasaan manusiawi seorang anak. Sebab, sentuhan seorang ayah dipercaya mampu menjadi stimulus semangat belajar dan berjuang bagi anak-anaknya. Hal ini telah dibenarkan oleh psikologi pendidikan pada bab teori belajar, bahwa adanya reward (apapun bentuknya) mampu memompa stimulus semangat belajar anak. Hal ini disebabkan karena “sentuhan” ayah merupakan reward bagi setiap disciples (panggilan anak ideologisnya). Aku hanya mampu menjawab dengan ke-imanan bahwa tidak mungkin ayah menciptakan akibat kalau tidak adanya sebabnya. Yah, aku hanya percaya itu.
Ayahku adalah orang langka yang pernah aku ketemui selama 21 tahun ini, hanya dia yang rela berkorban secara total untuk orang lain, yang orang-orang itu belum pasti memberikan imbalan kepadanya. Keikhlasan laki-laki yang menghabiskan waktunya untuk perkaderan inilah yang terkadang oleh bayak orang dijadikan kiblat dalam mengurus umat. Dia tidak pernah mengeluh ataupun mengharap bantuan orang lain dalam berjuang. Semuanya diserahkan pada Allah, karena memang dia percaya betul pada kekuatan fikiran dan berkah shadaqah. Sehingga, tidak jarang laki-laki berkulit kuning bersih ini mengkalkulasi sedekahnya dengan kalkulasi matematika dinamis yang akan ditangguhkan pada Allah.
Ayahku seorang pejuang yang tidak kenal lelah dan letih. Perjalanan yang berasuransikan nyawa dia tempuh setiap akhir pekan, seolah menjadi pekerjaan wajib dalam hidupnya. Meskipun baru melahirkan lima generasi (yang terkalkulasi), rutinitas ayahku memakan banyak waktu, tenaga, harta, kasih sayang, bahkan pengorbanan ini terlihat menjadi karakter seumur hidupnya. Didukung dengan lingkungan yang memacu ambisi laki-laki yang telah mendedikasikan diri di partai politik sejak tahun 2004 untuk membangun negara Indonesia melalui pengkaderan para calon pemimpin. Inilah jalan perjuangan yang dipilih oleh penulis gagasan “Politisi Muda Tak Berdaya”. Beliau beranggapan bahwa politiklah yang mengatur kehidupan di negeri ini. Apapun hambatan dan rintangannya, dia lewati dengan penuh kesabaran dan kepasrahan.  Segalanya dari yang Maha Pencipta. Semoga Allah memberikan panjang usia yang berkah, pak diktator. Agar impianmu mampu terwujud, menjadikan Indonesia “Hebat”. Amin.

  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar